Kamis, 19 Maret 2009

antropologi politik

Politisi dan Korupsi

Permasalahan terbesar dinegeri ini adalah permasalahan korupsi yang juga nota bene salah satu dari agenda reformasi yang diusung oleh mahasiswa, berakhir dengan jatuhnya rezim Soeharto. kalau kita beranjak dari pendapat koentjraningrat tentang kebudayaan sebagai suatu idea / gagasan yang terwujud menjadi suatu sistem sosial / tindakan terpola dari manusia yang terlihat pada aktifitas manusia. Maka kasus korupsi di Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai ‘budaya’. Korupsi di Indonesia telah terjadi pada masa penjajahan (perusahaan VOC), sesudah kemerdekaan di era Orde Lama, Orde Baru, berlanjut hingga era Reformasi, permasalahan ini tidak juga bisa dituntaskan seratus persen. Berbagai upaya sebenarnya telah banyak dilakukan untuk memberantas korupsi, namun hasilnya masih belum sepenuhnya berhasil. Pada saat ini kepemimpinan Kabinet Indonesia Bersatu korupsi masih menjadi masalah besar, meskipun telah mendapat jaminan untuk diberantas oleh SBY sebagai presiden praktek korupsi tetap berlangsung dan semakin parah (canggih).

System politik yang diterapkan oleh Indonesia menganut sistem ‘trias politica’ yang mengenal tiga unsur yaitu legilatif, eksekutif dan yudikatif. Dalam hal ini ketiga unsur tersebut merupakan suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh, seperti presiden dengan kabinetnya, DPR, BPK, MA dan Kejaksaan Agung. Sistem politik yang diterapkan di Indonesia sekarang sebenarnya telah sangat baik. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, lembaga-lembaga yang terdapat dalam ketiga unsur tersebut tidak berfungsi sebagai mana mestinya. Perangkat hukum yang dibuat untuk pemberantasan tindak pidana korupsi dan juga lembaga kontrol pemerintah juga tersandung masalah korupsi. Terbongkarnya skandal Urip-Artalyta pada Maret lalu merupakan salah satu bukti nyata carut marutnya praktek dari sistem politik yang kita pakai.

Belakangan kasus-kasus korupsi merebak di DPR RI dan sejumlah DPRD di Indonesia, sampai pada bulan maret ini telah tercatat 10 kasus korupsi di gedung bundar senayan yang ditokohkan oleh satria-satria dari partai-partai besar.

* H. Saleh Djasit (Golkar) : kasus pengadaan Damkar
* Hamka Yandhu (Golkar) : kasus aliran dana BI
* Agus Condro (PDI-P) : kasus uang gratifikasi BI
* Sarjan Taher (Partai Demokrat) : kasus alih fungsi hutan
* Al-Amin Nasution (PPP) : kasus alih fungsi hutan
* Yusuf Emir Faishal (PKB) : kasus alih fungsi hutan
* Bulyan Royan (PBR) : kasus pengadaan kapal Dephub
* Antony Zeidra Abidin (Golkar) : kasus aliran dana BI
* Adiwarsita Adinegoro (Golkar) : kasus dana kehutanan
* Abdul Hadi (PAN) : kasus korupsi pembangunan daerah tertinggal

Di tengah tuntutan masyarakat yang menghendaki adanya pemberantasan tindak pidana korupsi, seharusnya para anggota dewanlah yang berdiri di barisan depan dalam pemberantasan korupsi. Tetapi kenyataannya justru sebaliknya, malah anggota dewan berperan sebagai aktor-aktor handal tindak pidana korupsi. Salah satu bukti lain kurangnya ketertarikan anggota dewan dalam penyelesaian masalah korupsi adalah belum terselesaikannya pembahasan RUU Pengadilan Tipikor atau bisa dibilang masih terbengkalai. Agung Laksono pun sebagai ketua DPR RI hanya bisa berharap Pansus RUU Pengadilan Tipikor bisa menyelesaikan pembahasan RUU tersebut sebelum masa jabatan DPR berakhir. "Saya berharap semoga sebelum Oktober 2009 sudah selesai,"

Tindak pidana korupsi tidak hanya melanda DPR RI saja, DPRD di Indonesia secara umum mempunyai rapor buruk tentang tindak pidana korupsi. Tidak jauh berbeda dengan DPR RI , anggota DPRD propinsi dan kab/kota juga terjerat permasalahan korupsi yang dilakukan baik secara individual ataupun berjamaah. Salah satu bukti banyaknya kasus korupsi di kalangan anggota DPRD adalah banyaknya dugaan kasus dan perkara-perkara tindak pidana korupsi yang di usut Sejumlah kejaksaan negeri di indonesia terkait dengan kasus dugaan korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, juga kasus penyelewengan ataupun suap dana proyek pemerintahan.

Menyikapi banyaknya permasalahan-permasalahan yang ada pada masa sebelumnya, dan jika diselaraskan dengan kondisi perpolitikan Indonesia pada masa sekarang ini. Seharusnya kita sebagai masyarakat dapat menyikapi fenomena korupsi tersebut baik sebagai pemilih yang akan menyalurkan aspirasi ataupun sebagai calon legislatif yang akan dipilih rakyat. Dalam suasana pemilihan legislatif yang akan dilaksanakan pada tanggal 9 april 2009 ini. kita melihat banyak sekali alat sosialisasi calon yang berupa gambar-gambar para calon legislatif yang terpajang di pinggir-pinggir jalan maupun pada di pusat-pusat keramaian yang lengkap dengan visi dan misi yang akan mereka usung ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Namun sebagian besar alat sosialisasi para calon anggota legislatif hanya sedikit yang menyikapi permasalahan tindak pidana korupsi. Visi dan misi para calon legislatif terlihat hanya menyikapi masalah pembangunan yang merupakan suatu isu yang pasti dan harus mereka bahas. selain itu alat alat sosialisasi para calon angota legislatif banyak mengedepankan sikap Etnosentrisme ”salah satu istilah yang dipakai dalam ilmu Sosial yang berarti sifat yang mengedepankan paham kesukuan”. hal ini terlihat pada slogan-slogan pada alat-alat sosialisasi seperti kalimat kalimat asli anak nagari A, anak nagari luak B, pencantuman gelar kesukuan ataupun kebangsawananya dan melupakan pemilu sebagai perhelatan semua lapisan dan golongan masyarakat.

Korupsi sebagai isu-isu yang akan menghambat pembangunan sepertinya tidak banyak terpikirkan sebagai permasalahan yang sangat krusial. kita mengetahui salah satu masalah besar yang menghambat pembangunan adalah korupsi yang dilakukan anggota legislatif yang selalu terkait dengan penyelewengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan proyek-proyek pemerintahan lainnya. Sedikitnya para caleg yang mempunyai visi dan misi dan menyikapi masalah korupsi sebagai salah satu masalah yang akan menghambat pembangunan, disini kita bisa menerka dan meramal tidak ada jaminan gedung dewan terlepas dari permasalahan korupsi, kebanyakan para caleg hanya berbicara bersama membangun nagari, melanjutkan perjuangan, saatnya berubah serta bla..bla..bla… dengan Visi dan misi perubahan yang masih abstrak.

Sampai saat ini dalam perjalanan yang saya lakukan ke beberapa daerah di Sumatra Barat hanya menemukan beberapa lembar baliho sebagai alat-alat sosialisasi pemilu yang digunakan para caleg yang mengangkat isu korupsi. Beberapa baliho yang mengangkat isu tindak pidana korupsi sayangnya hanya dalam jumlah yang sedikit. Terlepas dari visi dan misi para caleg pada pemilu legislatif 9 april 2009 mendatang bangsa ini mempunyai harapan yang besar kepada masyarakat indoesia yang akan juga akan menentukan nasip bangsa ini dengan menentukan pilihan secara bijak dan diiringi dengan rasionalitas dalam memilih dengan analisa yang pintar menuju perubahan Indonesia ke arah yang lebih baik.

Peasan untuk wakil rakyat

Untukmu yang duduk sambil diskusi,Untukmu yang biasa bersafari,Di sana di gedung DPR,Wakil rakyat kumpulan orang hebat,Bukan kumpulan teman teman dekat,Apalagi sanak famili,dihati dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikan,jangan ragu jangan takut karang menghadang,bicaralah yang lantang jangan hanya diam,di kantong safarimu kami titipkan,masa depan kami dan negri ini,dari sabang sampai merauke,kalian dipilih bukan di lotre,meski kami tak kenal siapa saudara.

sebuah lirik dari : Iwan Fals

1 komentar:

  1. jadi jan piliah juo anggota dewan tu lai cin..
    caliak se bara pitih yang inyo terima pertahun dan bandingkan jo apo yg nyo karajoan salamo tu...

    dak sabandiang doh...
    mang rancaknyo dibenahi anggota dewan tu sampai inyo tau jo fungsi dan tanggung jawabnyo..
    kalau dak..rancak bubarkan selah lai..

    BalasHapus